Rabu, 26 Agustus 2015

OM AH HUM



   Berawal dari beberapa pertanyaan dari  teman ataupun sahabat yang menanyakan apa itu budha dalam Hindu di Bali, karena dikalangan masyarakat Bali sendiri  istilah Budha Paksa tidaklah begitu populer seperti halnya Siwa Paksa
Saya sendiri adalah penganut Budha paksa namun saya sendiri belum mendalami secara khusus terhadap ajaran yang saya anut , karena saya sendiri belum memasuki pada tahapan me_sisya guru terhadap ajaran yg saya anut. maka dari itu jikalau ada teman, sahabat ataupun semeton yg sudah mendalaminya saya mohon bimbingannya…

    Disini saya mencoba menggambarkan sedikit apa yang saya ketahui tentang budha paksa yang saya anut berdasarkan beberapa pustaka yang saya miliki.. dimana ajaran Siwa dan Budha mengalami singkretisasi bahkan telah terjadi sejak zaman majapahit ( Jawa Timur ) dimana hal ini terlihat dari nama Desa Budhakeling , Karangasem. yang mana di ambil dari Kata Budha dan Keling (di ambil dari Nama desa di jawa timur ) terkait dengan diawalinya penyebaran ajaran kabudhaan di Bali oleh Ida Dhang Hyang Astapaka dengan membuat pesraman dan mrajan dimana beliau moksah yang sekarang menjadi Pura Taman Sari dan Pura Taman Tanjung dimana diceritakan beliau menancapkan tongkatnya (teteken ) yang terbuat dari Kayu Tanjung (sejenis tanaman bunga yang berbau harum ) dimana pohon tersebut masih tumbuh subur hingga sekarang

   Kembali ke Singkretisasi Siwa – Budha, khususnya di Bali secara ritual umat Hindu lebih mengacu pada ritual Siwa namun didalam memaknai kehidupan lebih kepada ajaran ke Budhaan, dimana kedua – duanya sangat percaya akan adanya Karmaphala dan Reinkarnasi sehingga mempererat titik temu dari kedua paham tersebut serta eratnya hubungan darah antara Ida Dhang Hyang Dwijendra ( Siwa Paksa ) dengan Ida Dhang Hyang Astapaka ( Budha Paksa ), yang mana Ida Dhang Hyang Astapaka adalah anak dari Ida Dhang Hyang Angsoka ( Budha Paksa ) yg tidak lain beliau adlah adik dari Ida Dhang Hyang Dwijendra yang kemudian singkretisasi Siwa-Budha ini diperkuat dengan nasihat ;

“ Apan tiwas juga sirang muni Buddha Paksa, yan tan wruhing parama tattwa Siwatwa marga, Mengkang munindra sangapaksa Siwawatwa yoga, yan tan wruh ing parama tattwa jinatwa manda”

: “ Akan tidak sempurna juga bila seorang Pendeta Buddha tidak memahami ajaran Siwa, Begitu pula para Pendeta Siwa dikatakan tidak sempurna jika tidak tahu inti ajaran Buddha “

Singkretisasi Siwa-budha juga dipertegas dari apa yang dikatakan Mpu Tantular dalam kakawin Sutasoma ;

“Hyang Budha tanpahi Siwa raja dewa
Rwanekadhatu winuwus, wara-budha wiswa;
Bhineki rakwa ring apan kena parwwanosen
Mangka Jinatwa lawan Siwatatwa tunggal
Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”

Hyang Budha tidaklah berbeda dengan Siwa, Keduanya terdiri dari banyak unsure; Budha adalah kesemestaan , bagaimana bisa yang tak terpisahkan dapat dipisahkan menjadi dua,Jiwa Jina dan Jiwa Siwa adalah satu , Berbeda tapi tak ada bedanya mereka adlah satu
                                                                                                Sutasoma,120.1
“Akshobhya tattwa kita ng Iswara dewa dibya
Hyang Ratnasambhawa sireki Bhatara Dhata
Sang Hyang Mahamara sirastam Ikamithaba,
Sri Amoghasiddhi sira Wisnu Mahadhikara

Akshobhya ( Saudasa Mahakala ) sejatinya adalah Dewa Iswara
Dewa Ratnasambhawa adalah Dewa Pencipta ( Brahma )
Lalu Mahadewa adalah Amithaba , Sri Amoghasiddhi adalah Wisnu

                                                                                                Sutasoma, 120.a



Di dalam ajaran ka_Budhaan dikenal dengan Tri aksaranya yang dikenal dengan Triratna yaitu Cakyamuni, Lokeswara dan Bajrapani yang kemudian menuju ke Trikaya ; KAYA . WAK, CITTA sehingga menghaslkan Trikona atau Tri Aksara ; Ong Ah Hung

Jika dalam ajaran Siwa dikenal dengan Panca Brahma yaitu Iswara, Brahma, Mahadewa, Wisnu, dan Siwa sedangkan dalam ajaran ka budhaan  di kenal dengan Panca tatagata yaitu ; Akshobya, Ratnasambhawa, Amitaba, Amogasidhi dan Wairocana dengan huruf Ah, Hung, Trang, Hrih, Ang ( Panca Aksara ) serta Dasa Aksaranya adalah Ah, Hung, Trang, Hrih, Ang, Na, Ma, Bu, Da, Ya sedangkan Kitab yang digunakan adalah KITAB SUCI SANG HYANG KAMAHAYANIKAN yang mana di sebutkan bahwa ;


“ Sira Katiga Bhatara Hyang Budha ngaranira, sang atitanagatawartamana, tan hana marganira waneh ar tinemwaken ikang kahyang budhan, jinatwa mantra widhim param, ikang Mahayana maha margay ya tinutaken ira, pinaka marga nira ra bodhimula hy alaksana, inakni deni gumego ikang mantranaya, ya ta matangnya ra temwaken kasarbwajnyam, ya ta he tu nirarpangguhaken ikang kahyang buddhan ring boddhimula”

:” Ketiganya adalah perwujudan Hyang Budha, dan untuk seterusnya tidak ada jalan lain untuk mencapai Hyang Budha, Mahayana yang diikuti tatkala akan menuju alam Nirwana teguh dalam melakukan latihan Mantranaya itu, sehingga dapat berhasil bertemu dengan Hyang Buddha, Demikianlah tinggi pengaruhnya Mantranaya itu ”

Kisah ataupun kidung yang digunakan dalam ajaran kabudhaan misalnya ; KIsah Sutasoma , Bubuksah Gagaking, Kidung Pamancangah, dll bahkan saat ini sedang di gulirkan sebuah mantra pemujaan yang bisa diaplikasikan dalam keseharian oleh para walaka dari  keturunan Dhang Hyang Astapaka sebagai bentuk pemujaan terhadap Hyang Budha yang dinamakan Puja Tri-Ratna Sambodhana

TRI-RATNA SAMBODHANA

Ong Ah Hum

Namo Buddhaya Dharmaya
Sangghaya ca sada sada
Sattwanam klesa-baddhanam
Muktaye Bhawa-Sangkatat

      Namo Buddhaya gurawe
      Namo Dharmaya tayine
      Namah Sangghaya Mahate
      Tribhyo`pi satatam namah

Namas trailokya - gurawe
Buddhayamita-budhaya
Sarwa-bandhana-muktaya
Praptayanuttamam padam

      Sarwa-Papasyakaranam,
      Kusalasyo pasampada
      Swa-citta-pari-dapanam,
      Etad Buddhanusasanam

Sarwa sattwah, sarwa bhutah, sarwa praninah
Sukhino bhawantu swaha

Om Shanti Shanti Shanti Om

1 komentar:

  1. TRI-RATNA SAMBODHANA apa ada dalam bentuk MP3 kalau ada boleh saya minta, kebetulan saya dari lingkungan Desa Budakeling dan saya diwarisi oleh ayah saya TRI-RATNA SAMBODHANA

    BalasHapus