Berawal dari
beberapa pertanyaan dari teman ataupun
sahabat yang menanyakan apa itu budha dalam Hindu di Bali, karena dikalangan
masyarakat Bali sendiri istilah Budha
Paksa tidaklah begitu populer seperti halnya Siwa Paksa
Saya sendiri adalah
penganut Budha paksa namun saya sendiri belum mendalami secara khusus terhadap
ajaran yang saya anut , karena saya sendiri belum memasuki pada tahapan me_sisya
guru terhadap ajaran yg saya anut. maka dari itu jikalau ada teman, sahabat
ataupun semeton yg sudah mendalaminya saya mohon bimbingannya…
Disini saya mencoba
menggambarkan sedikit apa yang saya ketahui tentang budha paksa yang saya anut
berdasarkan beberapa pustaka yang saya miliki.. dimana ajaran Siwa dan Budha
mengalami singkretisasi bahkan telah terjadi sejak zaman majapahit ( Jawa Timur
) dimana hal ini terlihat dari nama Desa Budhakeling , Karangasem. yang mana di
ambil dari Kata Budha dan Keling (di ambil dari Nama desa di jawa
timur ) terkait dengan diawalinya penyebaran ajaran kabudhaan di Bali oleh Ida
Dhang Hyang Astapaka dengan membuat pesraman dan mrajan dimana beliau moksah yang
sekarang menjadi Pura Taman Sari dan Pura Taman Tanjung dimana diceritakan
beliau menancapkan tongkatnya (teteken ) yang terbuat dari Kayu Tanjung (sejenis
tanaman bunga yang berbau harum ) dimana pohon tersebut masih tumbuh subur
hingga sekarang
Kembali ke
Singkretisasi Siwa – Budha, khususnya di Bali secara ritual umat Hindu lebih
mengacu pada ritual Siwa namun didalam memaknai kehidupan lebih kepada ajaran
ke Budhaan, dimana kedua – duanya sangat percaya akan adanya Karmaphala dan
Reinkarnasi sehingga mempererat titik temu dari kedua paham tersebut serta
eratnya hubungan darah antara Ida Dhang Hyang Dwijendra ( Siwa Paksa ) dengan
Ida Dhang Hyang Astapaka ( Budha Paksa ), yang mana Ida Dhang Hyang Astapaka
adalah anak dari Ida Dhang Hyang Angsoka ( Budha Paksa ) yg tidak lain beliau
adlah adik dari Ida Dhang Hyang Dwijendra yang kemudian singkretisasi
Siwa-Budha ini diperkuat dengan nasihat ;
“
Apan tiwas juga sirang muni Buddha Paksa, yan tan wruhing parama tattwa Siwatwa
marga, Mengkang munindra sangapaksa Siwawatwa yoga, yan tan wruh ing parama
tattwa jinatwa manda”
: “ Akan tidak sempurna juga
bila seorang Pendeta Buddha tidak memahami ajaran Siwa, Begitu pula para
Pendeta Siwa dikatakan tidak sempurna jika tidak tahu inti ajaran Buddha “
Singkretisasi
Siwa-budha juga dipertegas dari apa yang dikatakan Mpu Tantular dalam kakawin
Sutasoma ;
“Hyang
Budha tanpahi Siwa raja dewa
Rwanekadhatu
winuwus, wara-budha wiswa;
Bhineki
rakwa ring apan kena parwwanosen
Mangka
Jinatwa lawan Siwatatwa tunggal
Bhineka
Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”
Hyang
Budha tidaklah berbeda dengan Siwa, Keduanya terdiri dari banyak unsure; Budha
adalah kesemestaan , bagaimana bisa yang tak terpisahkan dapat dipisahkan
menjadi dua,Jiwa Jina dan Jiwa Siwa adalah satu , Berbeda tapi tak ada bedanya
mereka adlah satu
Sutasoma,120.1
“Akshobhya
tattwa kita ng Iswara dewa dibya
Hyang
Ratnasambhawa sireki Bhatara Dhata
Sang
Hyang Mahamara sirastam Ikamithaba,
Sri
Amoghasiddhi sira Wisnu Mahadhikara
Akshobhya
( Saudasa Mahakala ) sejatinya adalah Dewa Iswara
Dewa
Ratnasambhawa adalah Dewa Pencipta ( Brahma )
Lalu
Mahadewa adalah Amithaba , Sri Amoghasiddhi adalah Wisnu
Sutasoma,
120.a
Di
dalam ajaran ka_Budhaan dikenal dengan Tri aksaranya yang dikenal dengan Triratna yaitu Cakyamuni, Lokeswara dan
Bajrapani yang kemudian menuju ke Trikaya ; KAYA . WAK, CITTA sehingga menghaslkan Trikona atau Tri Aksara ; Ong Ah Hung
Jika
dalam ajaran Siwa dikenal dengan Panca
Brahma yaitu Iswara, Brahma, Mahadewa, Wisnu, dan Siwa sedangkan dalam ajaran ka
budhaan di kenal dengan Panca tatagata yaitu ; Akshobya, Ratnasambhawa, Amitaba, Amogasidhi dan Wairocana dengan huruf Ah,
Hung, Trang, Hrih, Ang ( Panca Aksara ) serta Dasa
Aksaranya adalah Ah, Hung, Trang, Hrih, Ang, Na, Ma, Bu, Da, Ya sedangkan Kitab
yang digunakan adalah KITAB SUCI SANG
HYANG KAMAHAYANIKAN yang mana di sebutkan bahwa ;
“ Sira
Katiga Bhatara Hyang Budha ngaranira, sang atitanagatawartamana, tan hana
marganira waneh ar tinemwaken ikang kahyang budhan, jinatwa mantra widhim
param, ikang Mahayana maha margay ya tinutaken ira, pinaka marga nira ra
bodhimula hy alaksana, inakni deni gumego ikang mantranaya, ya ta matangnya ra
temwaken kasarbwajnyam, ya ta he tu nirarpangguhaken ikang kahyang buddhan ring
boddhimula”
:”
Ketiganya adalah perwujudan Hyang Budha, dan untuk seterusnya tidak ada jalan
lain untuk mencapai Hyang Budha, Mahayana yang diikuti tatkala akan menuju alam
Nirwana teguh dalam melakukan latihan Mantranaya itu, sehingga dapat berhasil
bertemu dengan Hyang Buddha, Demikianlah tinggi pengaruhnya Mantranaya itu ”
Kisah
ataupun kidung yang digunakan dalam ajaran kabudhaan misalnya ; KIsah Sutasoma
, Bubuksah Gagaking, Kidung Pamancangah, dll bahkan saat ini sedang di gulirkan sebuah mantra pemujaan yang bisa diaplikasikan dalam keseharian oleh para walaka dari keturunan Dhang Hyang Astapaka sebagai bentuk pemujaan terhadap Hyang Budha yang dinamakan Puja Tri-Ratna Sambodhana
TRI-RATNA SAMBODHANA
Ong Ah Hum
Namo Buddhaya Dharmaya
Sangghaya ca sada sada
Sattwanam klesa-baddhanam
Muktaye Bhawa-Sangkatat
Namo Buddhaya gurawe
Namo Dharmaya tayine
Namah Sangghaya Mahate
Tribhyo`pi satatam namah
Namas trailokya - gurawe
Buddhayamita-budhaya
Sarwa-bandhana-muktaya
Praptayanuttamam padam
Sarwa-Papasyakaranam,
Kusalasyo pasampada
Swa-citta-pari-dapanam,
Etad Buddhanusasanam
Sarwa sattwah, sarwa bhutah, sarwa praninah
Sukhino bhawantu swaha
Om Shanti Shanti Shanti Om
TRI-RATNA SAMBODHANA apa ada dalam bentuk MP3 kalau ada boleh saya minta, kebetulan saya dari lingkungan Desa Budakeling dan saya diwarisi oleh ayah saya TRI-RATNA SAMBODHANA
BalasHapus