PURA TAMAN SARI - Pemargin Dhang Hyang Asthapaka.
IDA PEDANDA BUDA JELANTIK DUAJA |
Lokasi : tepat di bawah kaki Gunung Agung, Desa Pakraman Budakeling, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem
Oleh: Ida Pedanda Buda Jelantik Duaja, Griya Dauh Budakeling.
Sejarah berdirinya Pura Taman Sari di Desa Pakraman Budakeling,
Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, berdasarkan babad Budakeling
perjalanan Dang Hyang Asthapaka di Bali. Sejarah Pura Taman Sari tidak
bisa lepas dari perjalanan Dang Hyang Asthapaka ke Bali, seperti awal
mulanya terwujudnya Desa Pakraman Budhakeling karena pada dasarnya, Desa
Pakraman Budhakeling memang awalnya telah ada, namun wilayah tersebut
belum memiliki nama dan batas batas tertentu. kemudian, kedatangan Dang
Hyang Asthapaka ke Bali menemukan tempat yang kini disebut dengan
Budhakeling, oleh keturunan beliau secara perlahan mulai dibangun sebuah
desa serta infrastrukturnya untuk melengkapi didirikannya sebuah Desa,
kemudian sebagai bentuk penghormatan atas jasa Dang Hyang Asthapaka,
dibangunlah pura sebagai stana beliau, secara lebih lengkap diuraikan
sebagai berikut:
Perjalanan Dang Hyang Asthapaka di Bali, setelah
meninggalkan pasraman paman beliau yaitu Dang Hyang Niratha di Desa
Mas, Gianyar. Karena pada masa itu, Raja Bali yakni Dalem Waturenggong
telah mangkat. Kemudian Dang Hyang Asthapaka bersama anaknya Ida Banjar,
melanjutkan perjalanan menuju arah timur hingga matahari terbenam,
tibalah beliau di sebuah perbukitan dan beristirahat di sebuah batu,
yaitu Batu Penyu sekitar tahun saka 1416/ 1494 masehi. Disanalah beliau
bermalam sambil melihat keindahan pemandangan laut dan pegunungan.
Dalam ketenangannya tiba tiba didatangi oleh beberapa orang dengan nafas
terengah engah dan mengaku mereka berasal dari desa tenganan desa yang
berada di bawah pegunungan tersebut, mereka sedang mencari wewalungan/
binatang untuk perlengkapan upacara Ngusaba Sambah di desa mereka. Lalu
mereka bertanya kepada Dang Hyang Asthapaka, “Siapakah Tuan??, adakah
Tuan melihat Wewalungan di sini??”, kemudian Dang Hyang Asthapaka
menjawab, “Saya ini Dang Hyang Asthapaka, Wiku Buda Paksa, tidak ada
wewalungan di sini”. Kemudian mereka bersimpuh dan menghaturkan Bhakti.
“Nah sekarang pulanglah, wewalungan sudah ada di tempatnya semula”, kata
Dang Hyang.
Dengan segera mereka pulang, dan alangkah
terkejutnya mereka karena memang benar yang dikatakan Dang Hyang,
wewalungan sudah ada di sana.berlarilah mereka kembali ke Batu Penyu
untuk menghadap Dang Hyang, “Pakulun sesuhunan, hamba mohon agar paduka
berkenan menyaksikan karya usabha kami”, pinta mereka kepada Dang Hyang
Asthapaka. “Nah disini sajalah, pulanglah”, jawab Dang Hyang. Inggih
pakulunn, dimanapun keturunan paduka kelak hendaknya sudi menyaksikan
bila ada upacara Ngusabha kami di desa Tenganan”, begitu permohonan
mereka kepada Dang Hyang Asthapaka.I
Inilah yang menyebabkan
sampai sekarang keturunan Dang Hyang Asthapaka (khususnya dari
Budakeling), berkewajiban melaksanakan Bhisama dengan hadir menyaksikan
setiap ada upacara Ngusaba desa yang disebut Ngusaba Sambah yang jatuh
pada purnamaning sasih kasa, biasanya pada bulan juni-juli di desa
Tenganan Pagringsingan, Karangasem. Karena, jika tidak dilaksanakan oleh
keturunan Dang Hyang Asthapaka maka hasil bumi berupa padi, palawija
dan tanaman lainnya yang ada di Desa Tenganan tidak akan berhasil dengan
baik.
Diceritakan ketika malam, saat beliau masih duduk di Batu
Penyu, terlihatlah oleh beliau seberkas sinar yang menyilaukan seakan
turun dari angkasa menuju bumi, lama beliau tertengun menatap sinar
tersebut dan seakan ditahan oleh kekuatan gaib sehingga tidak mampu
berjalan, seolah olah beliau mendengar bisikan halus “He Sang Stiti
Hatunggu Dharma, Kapwa sire, Hiku Kang Katingal de Nire, maka tengeran
hungwanira maka muliheng suksma laya”. (he yang taat melaksanakan
Dharma, yang terlihat olehmu, menjadi pertanda tempatmu yang akan pulang
ke peristirahatan halus). Demikian terdengar oleh beliau, setelah itu
segera Dang Hyang Asthapaka melanjutkan perjalanan menuju sumber cahaya
tersebut.
Semakain mendekat, semakin mereduplah cahaya tersebut
dan akhirnya beliau beristirahat di sana serta menancapkan tongkat
(teteken) yang terbuat dari sebatang kayu Tanjung (sejenis tanaman bunga
yang berbau harum).
Di tempat beliau menancapkan tongkat ini
beliau mendirikan pasraman sebagai tempat menyebarkan ajaran ajaran
agama serta dijadikan tempat tinggal (Geriya) Dang Hyang Astapaka.
Sedangkan di tempat Cahaya itu berasal +500 meter dari tongkat tersebut
ditancapkan di bangun Pamrajan (Pura) yang disebut dengan Pamrajan Taman
Sari tempat beliau melaksanakan yoga Samadhi, menghubungkan diri dengan
Brahman. Di Pamrajan inilah Dang Hyang Asthapaka kembali ke Budhalaya
tanpa meninggalkan jenasah (Moksha), sebagai bentuk penghormatan atas
jasa beliau, menyebarkan ajaran ajaran agama pada penduduk desa, maka
Pamrajan Taman Sari tersebut kini disebut Pura Taman Sari, dengan
dilengkapi Palinggih Padma Naba sebagai stana Bhatara Buddha dan
Palinggih Padma Ngelayang sebagai stana Bhatara Dang Hyang Astaphaka
yang di sungsung oleh segenap pratisentana (keturunan) Dang Hyang
Asthapaka (wangsa Brahmana Siwa- Budha si-Bali-Lombok).
Setelah
Dang Hyang Asthapaka mencapai moksa, Pasraman Taman Tanjung ditempati
dan dipelihara oleh putra beliau Ida Banjar yang setelah di dwijati
bernama Ida Pedanda Made Banjar bersama istrinya. Pedanda ini berputra
Ida Wayan Tangeb/Ida Pedanda Wayan Tangeb, yang kemudian beliau memiliki
tiga orang istri, yakni (1) I Gusti Ayu Jelantik berputra dua orang
(Ida Pedanda Wayan Tegeh menetap di Griya Tegeh, Budakeling dan Ida
Pedanda Made Banjar pindah menetap di Batuan, Gianyar); (2) I Dewa Ayu
Istri Beng Gianyar berputra tiga orang laki-laki dan empat orang
perempuan (Ida Pedanda Wayan Dawuh menetap di Griya Kauhan Budakeling,
Ida Pedanda Wayan Tangeb menetap di Griya Krotok dan Ida Pedanda Made
Pangkur pindah menetap di Griya Kawan, Culik dan (3) Ida Pedanda Istri
Alit Kemenuh berputra dua orang (Ida Pedanda Wayan Alit menetap di Griya
Alit dan Ida Pedanda Made Mas pindah menetap di Tianyar).
Diceritakan Ida Pedanda Wayan Tegeh (Griya Tegeh) berputra enam orang
(Ida Pedanda Wayan Gianyar menetap di Griya Tegeh, Ida Pedanda Gede
Linggasana menetap di Griya Gede, Ida Pedanda Wayan Dangin menetap di
Griya Dangin Betenan, Ida Pedanda Raka menetap di Griya Pekarangan, Ida
Pedanda Gede Rai menetap di Griya pekarangan Danginan, Ida Pedanda
Kantrog menetap di Griya Dangin Duuran. Pada saat Pedanda Wayan Dangin
mengambil istri yang pertama, yaitu I Gusti Ngurah Istri Sidemen,
saudara I Gusti Ngurah Sidemen Sakti, ini dilengkapi pangiring
(pengikut). Dimana pangiring-pngiringnya terdiri atas tiga kelompok,
yakni:
1. Pande Mas di Banjar Pande Mas 2. Pande Besi di Banjar
Pande Besi 3. Balian satu keluarga di Banjar Balian dan sekarang sudah
lenyap (tidak mempunyai keturunan) disertai patung/togog berupa Delem
dan Sangut. Patung tersebut masih ada hingga sekarang dan diletakkan di
Griya Jelantik Budakeling Keluarga Pande Mas diberikan tempat di
sebelah Barat pamerajan Taman Sari, keluarga Pande Besi diberikan tempat
di sebelah Selatan pamerajan taman Sari, dan keluarga Balian diberikan
tempat di sebelah Barat pasraman Taman Tanjung. Pada tahun saka 1634
(1712 Masehi) terjadilah bencana alam meletusnya Gunung Agung yang ke
empat kali, menyebabkan banjir lahar di sungai sebelah Timur Pemrajan
Taman Sari, sejak saat sungai tersebut disebut sungai/Tukad Mbah
Api/Mbah Geni. Bencana itu yang mengakibatkan beliau beserta semua
keluarga pratisentana (keturunan) nya yang tinggal di tempat itu dengan
semua pangiring-pangiringnya (pengikut) berpindah tempat menuju ke Barat
di sebelah Selatan Bukit Pinggan (Bukit Puncak Sari) 500 meter dari
Pasraman Taman Tanjung.
Di sanalah beliau bersama-sama
pangiringnya mencari perlindungan serta mendirikan perumahan/pemukiman.
Mengingat hubungan baik antara Pedanda Wayan Dangin dengan I Gusti
Ngurah Sidemen Sakti, (karena saudara I Gusti Ngurah Sidemen menjadi
istri Pedanda Wayan Dangin), maka I Gusti Ngurah Sidemen Sakti yang
masih memiliki serta mewenangkan wilayah tersebut, dengan setulus hati
menghaturkan (mempersembahkan) tempat itu kepada Pedanda Wayan Dangin,
dengan maksud agar tempat wilayah itu menjadi tempat tinggal beliau
bersama keluarganya serta pangiring-pangiringnya. Hal inilah yang
menyebabkan Pedanda Wayan Dangin bersama saudara-saudara beliau
bermufakat untuk mendirikan bangunan-bangunan dalam satu ikatan Desa.
The Borgata Hotel Casino & Spa, Atlantic City | DRMCD
BalasHapusBorgata Hotel Casino & Spa 과천 출장샵 is 안양 출장샵 Atlantic City's premier casino 경주 출장안마 resort destination. 안산 출장안마 With luxurious rooms, top-brand retail, exciting entertainment, 의왕 출장마사지